Lelaki di sampingku mencintai perempuan mungil itu.
Sejak pertama binar matanya melihat seraut wajah yang terpejam di kasur
tua rumah sakit, ia tahu, detik itu juga ia jatuh hati tak berdasar.
Bahkan rela lesap untuk cinta tanpa batas. Tanpa syarat.
Ia resah bila menangkap isak tangis yang keluar
dari bibir mungil berwarna merah jambu itu. Tapi, sebagian dari hatinya
lega ketika mendengar pula raungan yang membahana, itu tanda mereka
masih akan terus bersama. Dan diam-diam, dalam hati, lelaki itu
merapalkan doa yang diselipkannya ke balik bantal sebelum tidur, tentang
harapan dan mimpi untuk bisa bersama lebih lama lagi. Menyaksikan
perempuan yang dicintainya melewati semua penanda waktu yang dianggap
penting.
Ia mendadak ingin hadir di setiap momen berharga perempuan mungil itu. Ia tak ingin ketinggalan apa pun tentang perempuan itu. Bahkan tidak untuk sedetik saja.
‘Aku benar-benar jatuh hati. Bukan sekadar jatuh
cinta,’ akunya. Ia memandang lekat perempuan mungil yang rambutnya kian
tebal mengikal—yang kerap ia cuci dengan merang. Perempuan
yang dipandangi sibuk sendiri di meja seberang. Ia sibuk dengan
teman-temannya. Tertawa dan sesekali berteriak kegirangan atas lelucon
dan kelucuan yang dibuat bersama kawan.
Lelaki itu tersenyum. Pandangannya tak lepas.
Pandangan penuh sayang. Pandangan yang jarang ditemui ketika ia berada
di jalanan memacu sepeda motornya, mengantar penumpang. ‘Aku rela
menukar apa pun untuk tetap membuat ia tersenyum,’ katanya pelan.
Aku melemparkan pandangan ke seberang. Seorang
lelaki mendekati perempuan mungil itu, menarik pita merah yang mengikat
rambut hitam ikal perempuan itu. perempuan mungil berteriak. Lelaki usil
itu terkekeh, senang mendengar teriakan dan wajah bulat telur yang
cemberut.
Refleks, aku melirik ke lelaki yang ada di
sebelahku. Kedua tangannya yang menggenggam jeruji pagar, tempat kami
mengamati perempuan itu dari kejauhan, terkepal kencang. Ia seperti
menahan diri agar tak menghampiri lelaki itu dan menggamparnya.
Aku terkekeh kecil menyaksikan itu. ‘Dia akan baik-baik saja.’
Lelaki itu tak memindahkan pandangannya, tetapi tangannya sudah tak lagi terkepal. ‘Aku berharap ia tak pernah patah hati.’
‘Kau bermimpi. Bagaimana kaubisa mengantisipasi itu
semua. Kaubisa melindunginya dari rasa lapar dan menjauhkan dia dari
kekurangan secara materi. Tetapi urusan hati, tak ada pelindungnya,’
sahutku.
Seandainya, hati memiliki alat pelindung semacam
kondom. Mungkin lelaki yang duduk di sebelahku ini tak akan berhenti
memacari dan mencintai semua perempuan di muka bumi. Hingga satu hari ia
bertemu kegagalan dalam mencintai.
Aku masih ingat isak yang ditahannya ketika
mengabarkan, ia tak mampu mempertahankan hubungan dengan seorang
perempuan yang dicintainya. Perempuan yang dengannya ia bermimpi tumbuh
tua bersama cinta dan waktu. Nyatanya, mereka berhenti saling mencintai.
Atau mungkin cinta itu saja yang tak lagi sama rasanya.
Perempuan itu meninggalkannya. Meninggalkannya begitu saja. cinta tak cukup untuk kita bertahan hidup, kata perempuan itu.
Luka itu dibawanya. Ditimbunnya dalam gelap malam.
Pada kertas origami berwarna-warni yang kerap kulihat berserakan di meja
ruang tamunya, kusaksikan ia melarung harapan. Kertas itu dilipatnya
menjadi perahu, dilayarkannya di parit kecil depan rumah yang airnya
berwarna cokelat dan tak jarang mengeluarkan bau tak sedap akibat sampah
yang tersendat.
Ia melarung harapan itu bersama perempuan mungil yang sedang ditatapnya lekat-lekat, seolah khawatir ia lenyap dari pandangan.
Luka itu belum sembuh. Setiap kali memandang si
perempuan mungil yang kini menjadi pujaan hatinya, lelaki itu kian
terlihat rapuh. ‘Aku hanya bisa pasrah para perasaan ini. Aku rela
menjadi alas kaki untuk kebahagiaannya.’ Tak kusangka, sahabatku, yang
dulu gemar berganti perempuan, kita menyerahkan seluruh hidupnya kepada
perempuan yang sedang asyik sendiri bersenda gurau di balik pagar besi
berkarat yang meninggalkan serbuk merah kecokelatan di telapak
tangannya.
Kuakui, perempuan mungil memiliki wajah yang mirip
perempuan yang dicintainya setengah mati. Yang membuatnya terseok-seok.
Meluluhlantakkannya hingga tinggal serpihan. Namun, tak pernah kulihat
tatapan seintens dan setulus itu. Semurni itu dan sepenuh cinta itu dari
sepasang mata yang pernah sangat jalang. Bahkan tidak kepada perempuan
yang diaku-aku ia cintai.
‘Aku jatuh hati. Kautahu, aku jatuh hati. Semakin
aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin aku takut ia akan pergi
dariku suatu saat nanti,’ keluhnya. Ia bilang, ia tak sanggup
membayangkan kehilangan yang seperti itu. kehilangan perempuan mungil
itu dalam hidupnya. Itu kiamat, baginya.
Perempuan mungil yang memiliki mata bulat bola pingpong itu adalah cinta terbesar yang pernah ia punya. Ia rela menjadi hulubalangnya, atas nama cinta yang tak bersyarat.
Aku tergagu dalam gugu.
Suara yang memekakkan seantero penjuru gedung
membuat kami terjaga. Bergegas, aku dan dia bergerak ke sisi samping
pagar. Seorang lelaki tua membuka pintu pagar lebar-lebar yang segera
diserbu makhluk-makhluk kecil.
‘Papa!!!!’
Tangan lelaki itu terentang lebar saat ia melihat
pemilik suara itu berlari ke arahnya. Perempuan mungil memburunya. Masuk
ke dekapan lelaki itu. Dekapan yang paling menghangatkan dari lelaki
yang paling tulus mencintainya. [13]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar