Minggu, 07 April 2013

Hukum Perikatan


    Perikatan dalam bahasa Belanda disebut“verbintenis”.Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain.
Jika dirumuskan, Perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan serta kekayaaan antara dua orang dan lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu, dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
.Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
1.       Asas kebebasan berkontrak,
2.       Asas Konsesualisme
3.       Asas Kepercayaan
4.       Asas Kekuatan Mengikat,
5.       Asas Persamaan hukum,
6.       Asas Keseimbangan,
7.       Asas Kepastian Hukum,
8.       Asas Moral
9.       Asas Perlindungan
10.    Asas Kepatutan.
11.    Asas Kepribadian (Personality)
12.    Asas Itikad Baik (Good Faith)
 Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
1.  tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
peralihan resiko;
Dalam KUHpdt (BW) tidak diatur secara khusus apa yang dimaksud berakhirnya perikatan, tetapi yang diatur dalam Bab IV buku III BW hanya hapusnya perikatan. Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:[1]
1.    Pembayaran.
2.    Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3.    Pembaharuan utang (novasi).
4.    Perjumpaan utang atau kompensasi.
5.    Percampuran utang (konfusio).
6.    Pembebasan utang.[2]
7.    Musnahnya barang terutang.
8.    Batal/ pembatalan.
9.    Berlakunya suatu syarat batal.
10.    Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar